Dari Perpustakaan Dadakan Sampai Cyber

Slamet Riyanto
(Pustakawan HU Republika)
(Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Tekad edisi Januari 2000)

Era cyber space segera terwujud, ditandai dengan berbagai penyempurnaan sistem akibat lajunya perkembangan teknologi informasi dan komputer, serta tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya efisiensi dan globalisasi. Semuanya serba otomatis, cepat, dan efisien.

Teknologi telah mengubah dunia menjadi desa besar yang sarat dengan teknologi. Semua tempat di dunia ini, termasuk yang miskin dan terpencil dapat menerima dan mengirim informasi penting ke titik-titik manapun di bola dunia kita ini. Inilah yang disebut dengan revolusi teknologi informasi.

Kecanggihan teknologi juga telah melahirkan electronic library, buku digital, bahkan toko buku elektronik. Konsep perpustakaan konvensional dengan lemari katalog, tumpukan buku berdebu, petugas 'menyeramkan' segera kita tinggalkan dan digantikan dengan tampilan home page yang menarik, interaktif, dan siap mengantarkan pemakainya ke perpustakaan manapun di dunia ini. Itulah teknologi internet yang dalam dasawarsa terakhir ini menjadi trend para penjaja dan pemburu informasi.

Bahkan sekarang menjadi ajang bisnis perdagangan maya yang disebut dengan e-commerce.Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh kalangan penyedia informasi yaitu perpustakaan, ratusan bahkan ribuan perpustakaan maya (cyber) saat ini sudah tersaji di internet, dengan variasi koleksi yang lebih beragam mulai dari makalah seminar, manuskrip, bentuk visual, bahkan audio visual dapat kita nikmati di dunia cyber ini.

Jika anda masuk ke situs library of congress akan kita temukan berbagai koleksi perpustakaan terbesar di dunia ini mulai dari layanan katalog sampai agenda acara perpustakaan.Kartu katalog sebagai alat penelusuran data yang dianggap paling efektif untuk perpustakaan konvensional telah diganti dengan mesin search engine yang lebih manusiawi dan interaktif, pemakai perpustakaan tidak lagi perlu bekal pengetahuan tentang struktur dan sistem penataan kartu katalog, apalagi lokasi penyimpanan pustaka, cukup dengan klik, informasi yang diperlukan telah tersaji di layar komputer.

Kondisi ini telah mengubah paradikma lama perpustakaan sebagai gudang buku dan tempat 'pembuangan' tenaga-tenaga yang kurang dan tidak produktif. Perpustakaan konvensional yang biasanya dikeluhkan dengan keterbatasan koleksi, dan jam buka tidak lagi menjadi masalah, karena perpustakaan ibarat pusat informasi dengan koleksi tanpa batas dan tidak mengenal waktu jam buka. Kapanpun dan dimanapun diperlukan, perpustakaan cyber siap melayani.

Dengan banyaknya perpustakaan yang tersambung di intenet mendatangkan banyak manfaat bagi penggunanya dan pengelola perpustakaan yaitu.

* Keterbatasan koleksi perpustakaan menjadi tidak terbatas dan
* Segala bentuk subyek materi dapat dicari dan didapatkan melalui koleksi perpustakaan di internet. Bahkan beberapa koleksi buku referensi seperti ensiklopedi saat ini sudah tersedia di internet dengan tampilan dan teknik pencarian yang lebih interaktif.Fasilitas kemudahan seperti ini rupanya belum dapat dinikmati oleh semua masyarakat khususnya di Indonesia. Hanya kalangan dan wilayah tertentu yang telah disentuh oleh jaringan telekomunikasi 'selular maupun kabel', listrik, dan teknologi komputer.

Disamping itu kesiapan perpustakaan di Indonesia untuk berimigrasi ke teknologi cyber masih jauh dari harapan. Salah satu kendala yang harus segera diatasi adalah penyiapan sumberdaya manusia (SDM) bidang perpustakaan, dan tentu saja dorongan dari para pengambil keputusan untuk memajukan perpustakaan.

Keengganan orang bekerja dibidang perpustakaan tidak jauh dari masalah uang, karena ladang ini dianggap kering dan sulit untuk berkembang, bahkan tempat hukuman. Akibatnya banyak SDM perpustakaan yang melakukan akrobat menekuni bidang lain yang dianggap lebih menjanjikan, sehingga tidak sedikit perpustakaan ditangani oleh tenaga yang tidak memiliki latar belakang pendidikan perpustakaan, akibatnya dapat ditebak, perpustakaan menjadi tidak berkembang bahkan tidak jarang yang mati.

Banyak kalangan menilai nama pustakawan sudah tidak dapat dijual, bahkan tidak sesuai lagi dengan lingkup pekerjaannya sehingga perlu diganti dengan istilah lain yang lebih sesuai dan menantang. Pustakawan sekarang tidak lagi duduk mengetik kartu katalog yang sarat dengan aturan, atau menyusun indeks kartu katalog yang penuh dengan ketelitian.

Pustakawan yang bekerja pada lembaga yang peduli teknologi informasi rata-rata sudah tidak mengerjakan pekerjaan teknis seperti itu. Mesin komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak sederhana telah menggantikan pekerjaan yang selama ini dikenal sebagai pekerjaan yang membosankan. Tugas pustakawan lebih pada pemikiran untuk pengembangan perpustakaan dan membuat program pemasaran agar masyarakat tertarik dan mau menggunakan perpustakaan.

Untuk itulah julukan pustakawan selayaknya diganti dengan istilah lain misalnya information officer, information agecy atau nama lain agar ada kesesuaian dengan jenis pekerjaannya. Perubahan ini bukan sekedar agar lebih 'keren', namun sebagai konsekwensi logis dari revolusi teknologi informasi saat ini.

Bagaimana dengan kesiapan perpustakaan di Indonesia dalam menghadapi tantangan revolusi teknologi informasi ini?. Tosye Damayanti alumni S2 Jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia termasuk yang masih konsisten mencangkul di ladang perpustakaan, dengan posisi yang cukup strategis di tempat ia bekerja, dia lebih enjoy dan merasa mendapat banyak pengalaman dan pelajaran. Menurutnya perkembangan perpustakaan di Indonesia belum banyak mengalami kemajuan, lagi-lagi kendalanya adalah masalah kurangnya tenaga perpustakaan yang profesional, dan ketersediaan sarana dan prasarana.

Menurut kepala perpustakaan The British Council Jakarta ini pengelola perpustakaan tidak harus orang yang berpendidikan perpustakaan, alasannya ilmu perpustakaan sudah standard dan bisa dipelajari, yang penting malah kemampuan SDM untuk berinteraksi dan dapat memasarkan produk informasi. Lebih lanjut wanita yang bekerja di lembaga nirlaba ini mengusulkan nama pustakawan diganti saja menjadi information officer, walaupun sekedar nama namun akan lebih menjanjikan dalam lingkup pekerjaan, bahkan sebaiknya setiap perpustakaan sudah memiliki situs sendiri di Internet.

Menurutnya perpustkaan The British Council lah yang paling siap dalam menyambut era cyber ini, untuk itu lembaganya saat ini telah memberikan layanan kepada masyarakat yang ingin mengetahui penggunaan teknologi informasi seperti penggunaan internet. Menurutnya Indonesia harus segera bersiap diri menyiapkan perpustakaan masa depan yang berfungsi sebagai information reference, dan yang paling penting petugasnya pandai berpromosi, dan sebagai fungsi marketing.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan Zaenal Arifin Toy, ketertinggalan perpustakaan di Indonesia akibat kwalitas SDM tidak dibarengi dengan pemenuhan sarana dan prasarana. Ada beberapa pustakawan yang sudah sangat siap dengan pengetahuan teknologi informasi namun tidak didukung dengan pengadaan sarana perangkat keras dan lunak (hardware dan software) yang memadai, akibatnya fungsi SDM tidak optimal. Budaya membaca yang masih rendah juga menjadi kendala pengembangan perpustakaan, saat ini kita baru sampai pada tahap listening society sehingga keberadaan perpustakaan masih belum dapat dioptimalkan, masyarakat lebih suka mendengar dari pada meriset sendiri literatur di perpustakaan. Terakhir adalah kesadaran lembaga terhadap perpustakaan juga masih rendah.

Di lembaga pemerintah maupun swasta bahkan perguruan tingi, masih banyak perpustakaan yang kurang mendapat tempat dan hanya sebagai obyek pelengkap. Bahkan sekarang ini masih banyak perpustakaan dadakan, artinya perpustakaan muncul dengan tiba-tiba karena akan dikunjungi pejabat, begitu pejabat pulang perpustakaanpun ikut lenyap

Dari segi penyiapan tenaga, menurutnya saat ini sudah cukup. Di Indonesia tidak kurang dari 13 Universitas negeri dan swasta yang menghasilkan lulusan Sarjana dan Diploma perpustakaan. Lulusannya sampai saat ini telah mencukupi kebutuhan, terbukti dari para lulusan rarta-rata langsung terserap habis. Untuk dapat mengejar ketertinggalan perpustakaan dalam menghadapi revolusi teknologi informasi yang harus segera dilakukan adalah gebrakan dari atas (kebijakan pemerintah) yang sifatnya strategis untuk menggalakkan perpustakaan dan menanamkan membaca menjadi suatu kebutuhan.

Sehingga akan tercapai masyarakat yang learning society dan bukan listening society. Menurut Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab IAIN Jakarta ini secara umum kesiapan perpustakaan di Indonesia untuk menghadapi perkembangan teknologi masih jauh sekali, karena laju perkembangan teknologi tidak signifikan dengan ketersediaan sarana dan kemampuan SDM nya. Ketua 4 bidang Perguruan Tinggi Ikatan Pustakawan Indonesia ini memprediksikan perpustakaan IAIN sendiri akan siap secara bersama pada tahun 2005 mendatang. IPI sebagai lembaga profesi secara intensif menyiapkan SDM melalui berbagai seminar, pelatihan, dan kegiatan sejenisnya.
Tags:

About author

Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.

0 Komentar

Posting Komentar